WHITE FECES DISEASE PADA BUDI DAYA UDANG DI INDONESIA
WHITE FECES DISEASE PADA BUDI DAYA UDANG DI INDONESIA
Litopenaeus vannamei atau udang vannamei merupakan komoditas perikanan yang memiliki pasar cukup besar dengan permintaan yang tinggi. Produksi udang vannamei di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 639.589 ton dan terus meningkat tiap tahunnya. Dengan ini, diharapkan budidaya udang vannamei terus berkembang untuk meningkatkan produksi tiap tahunnya serta menghasilkan profit yang maksimal. Beberapa teknologi sudah diterapkan guna memaksimalkan produksi per siklusnya.
Selain itu, muncul kendala-kendala yang menghambat proses produksi udang vannamei. Penyakit-penyakit yang muncul disebabkan oleh patogen-patogen serta kondisi lingkungan yang tidak stabil. Hal ini mendasar peneliti untuk mengindentifikasi patogen-patogen yang menyebabkan munculnya penyakit serta kondisi lingkungan yang mampu mendukung penyebaran penyakit tersebut. Beberapa penyakit yang menghantui petambak udang di Indonesia salah satunya adalah White Feces Disease (WFD).
White Feces Disease atau berak putih merupakan penyakit yang menyebabkan udang tidak bisa tumbuh dengan maksimal. Nutrisi yang diberikan tidak diserap dengan baik sehingga berakibat pada lambatnya laju pertumbuhan udang tersebut. Awal mula munculnya penyakit White Feces Disease pada tahun 2009-2010 di Vietnam. Munculnya penyakit White Feces Disease pertama kali pada tambak udang windu di beberapa provinsi di Vietnam. Setelah itu menyebar ke Thailand pada tahun 2010 hingga White Feces Disease muncul di Indonesia (Sumbawa) pada tahun 2014.
Beberapa publikasi ilmiah menyebutkan bahwa patogen penyebab White Feces Disease adalah bakteri jenis vibrio. Namun belum bisa dipastikan jenis vibrio yang mampu menyebabkan munculnya penyakit White Feces Disease. Tidak hanya patogen, kondisi lingkungan yang tidak stabil mempengaruhi munculnya penyakit tersebut. Kondisi lingkungan yang dianggap sebagai pemicu adanya penyakit White Feces Disease ini adalah jumlah bahan organik yang terakumulasi di dasar tambak. Bahan-bahan organik tersebut diduga berasal dari organisme udang yang mati, alga, sisa metabolisme udang, serta sisa pakan yang tidak termakan.
Sisa pakan yang tidak termakan akibat dari perkiraan pemberian jumlah pakan yang tidak sesuai. Beberapa pembudidaya memberikan pakan dengan jumlah besar berharap pertumbuhan udang bisa dipercepat. Namun hal tersebut menimbulkan masalah baru. Kondisi perairan tidak mampu melakukan perombakan bahan organik tersebut sehingga dapat memicu pertumbuhan bakteri yang tidak terkontrol.
Udang yang terinfeksi White Feces Disease akan mengeluarkan berak putih. Gejala klinis lain yang muncul antara lain perubahan warna kehitaman pada insang, pengerutan hepatopankreas, serta usus tidak terisi makanan namun terdapat untaian feses berwarna putih. Penyakit ini mengakibatkan menurunnya nafsu makan udang sehingga pertumbuhan udang akan lamban serta dapat menimbulkan kematian.
Beberapa pembudidaya melakukan tindak pencegahan penyakit White Feces Disease dengan beberapa cara. Penerapan biosecurity pada tambak diharapkan mampu meminimalisir masuknya patogen ke dalam wadah budidaya. Pemberian pagar pembatas disepanjang tambak berguna untuk mencegah masuknya hewan-hewan vektor pembawa patogen.
Pemberian plastik HDPE pada dasar tambak dilakukan guna menjaga kualitas air selama pemeliharaan. Namun beberapa petambak sudah menggunakan tambak dengan dasar beton untuk memaksimalkan umur tambak. Pemberian treatment pada air tandon diharapkan mampu menghasilkan air yang baik untuk digunakan selama pemeliharaan.
Treatment yang dilakukan yaitu pemberian bahan desinfektan seperti kaporit pada tandon. Benih yang ditebar harus memiliki standar bebas penyakit atau Specific Pathogen Free (SPF). Dengan menjalankan beberapa cara ini diharapkan dapat meminimalisir munculnya penyakit White Feces Disease.
Penulis: Fauzan Wahib Alsani