Artikel

PENEMUAN BARU KEPITING MUARA ENDEMIK SULAWESI 

IPB DIGITANI - TANI DAN NELAYAN CENTER IPB UNIVERSITY - PENEMUAN BARU KEPITING MUARA ENDEMIK SULAWESI 
Artikel / Biota Air Tawar dan Laut / Perikanan

PENEMUAN BARU KEPITING MUARA ENDEMIK SULAWESI 

Jenis baru kepiting muara asal Sulawesi Tengah. | Foto: Murniati et al. (2023)

Penelitian tentang biodiversitas terus membawa kita pada penemuan-penemuan baru, terutama di wilayah yang kaya akan keanekaragaman hayati seperti Indonesia.

Salah satu penemuan terbaru dan menarik adalah penemuan dua jenis baru kepiting muara. Penemuan ini ditemukan di pesisir barat dan timur Sulawesi Tengah oleh tim peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN. Penelitian yang dilakukan bersama mahasiswa Universitas Tadulako (UNTAD) Palu itu berhasil mengidentifikasi Tmethypocoelis simplex dan Tmethypocoelis celebensis, kedua jenis kepiting muara yang mengukuhkan status mereka sebagai fauna endemik Pulau Sulawesi. 

Karakteristik Tmethypocoelis simplex dan Tmethypocoelis celebensis 

Tmethypocoelis, sering disebut “kepiting buddhis,” adalah salah satu kepiting muara terkecil dengan ukuran tubuh kurang dari 7 milimeter. Tubuhnya berwarna abu-abu atau cokelat dengan capit berwarna putih, membuatnya hampir tidak terlihat di habitat aslinya kecuali karena gerakan capitnya. Hingga akhir 1990-an, hanya terdapat empat jenis Tmethypocoelis yang diidentifikasi di seluruh dunia.

Mengutip dari Mongabay, penemuan pertama jenis Tmethypocoelis di Indonesia terjadi pada tahun 2018 oleh tim peneliti dari LIPI yang menemukan Tmethypocoelis liki di Pulau Liki, Papua. Setelah diidentifikasi memiliki morfologi yang berbeda, kepiting ini ditetapkan sebagai spesies baru dan dipublikasikan pada 2022. 

Pada 2020 dan 2021, dua spesies baru dari genus yang sama ditemukan di Sulawesi Tengah. Tmethypocoelis simplex ditemukan di pesisir barat, Kecamatan Banawa Tengah, Donggala. Sementara Tmethypocoelis celebensis ditemukan di pesisir timur, di wilayah Tuladenggi Sibatang dan Sausu, Parigi Moutong. Kedua spesies ini memiliki perbedaan morfologi yang jelas, terutama pada bentuk capit dan alat kelamin jantan. Tmethypocoelis simplex diberi nama berdasarkan bentuk capitnya yang sederhana, sedangkan Tmethypocoelis celebensis diambil dari nama lama Pulau Sulawesi, yaitu Celebes. 

Ekologi dan Penyebaran

Uniknya, kedua spesies ini nampak seperti anakan dari kepiting lain yang berukuran lebih besar. Nyatanya, setelah diperiksa lebih teliti di bawah mikroskop, jelas bahwa bentuk tubuh mereka sangat berbeda dari anakan kepiting lainnya. Pada kepiting jantan dewasa, capit mereka berukuran besar, sedangkan betina memiliki sepasang capit yang jauh lebih kecil. 

Penyebaran kedua jenis kepiting ini sangat terbatas karena arus laut yang mengisolasi populasi mereka di pesisir barat dan timur Sulawesi. Tmethypocoelis simplex yang ditemukan di pesisir barat dipengaruhi oleh arus Selat Makassar, sementara Tmethypocoelis celebensis yang ditemukan di pesisir timur dipengaruhi oleh arus Laut Maluku. Arus yang berbeda ini menjadi penghalang bagi larva kepiting untuk menyebar ke wilayah lain, menyebabkan kedua spesies ini endemik di wilayah-wilayah tertentu di Sulawesi. 

Selain itu, larva kepiting memiliki keterbatasan untuk menempuh perjalanan jauh, sehingga kelangsungan hidup mereka sangat tergantung pada kondisi lingkungan setempat. Penemuan ini menambah daftar panjang fauna endemik yang unik dari Pulau Sulawesi. 

Indikator Kesehatan Lingkungan 

Meski manfaat langsung dari kepiting Tmethypocoelis bagi masyarakat sekitar belum sepenuhnya diketahui, keberadaannya menunjukkan bahwa mereka berperan penting dalam ekosistem. Kepiting ini menjadi sumber makanan bagi burung-burung pantai, yang merupakan bagian dari rantai makanan di ekosistem tersebut. Selain itu, keberadaan atau ketiadaan kepiting ini juga dapat digunakan sebagai indikator kesehatan lingkungan muara. Dari hasil penelitian di lapangan, kepiting Tmethypocoelis tidak ditemukan di wilayah yang terkontaminasi polusi atau di sekitar tambak ikan yang keruh. 

Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa populasi Tmethypocoelis menurun drastis ketika berada di lingkungan yang tercemar, berbeda dengan kepiting jenis lain yang lebih cepat beradaptasi dengan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa spesies ini memiliki preferensi lingkungan yang sangat spesifik dan membutuhkan habitat yang bersih dan sehat untuk bertahan hidup. 

Hingga saat ini, belum ada tindakan konservasi khusus yang dilakukan untuk melindungi Tmethypocoelis simplex dan Tmethypocoelis celebensis karena penemuan mereka masih relatif baru. Namun, dengan penyebaran mereka yang terbatas dan habitat yang sangat spesifik, perlu adanya monitoring populasi di lokasi-lokasi penemuan dan eksplorasi potensi sebaran mereka di wilayah lain.

Penulis: Rahel Azzahra | Editor: Rahel Azzahra  

Tanya Pakar

powered by Advanced iFrame. Get the Pro version on CodeCanyon.