Menonton wayang adalah menonton bayangan sebagaimana asal muasal kata wayang yang yaitu bayangan.  Lebih jauh pagelaran wayang, sebagai ‘wewayanganing urip’ atau bayangan dari kehidupan itu sendiri.  Dimana ada bayangan dalam sebuah pagelaran wayang kulit, dan dari mana semestinya kita menikmatinya? 
 
Menonton bayangan mestinya melihat keseluruhan adegan cerita dari balik layar.  Dengan bantuan blencong (sejenis lampu), pemirsa akan menikmati keindahan sunggingan (ukiran tembus pandang) yang indah.  Sesekali bayangan membesar dan sedikit blur, manakala wayang didekatkan pada lampu.  Dengan menonton satu kotak putih bernama kelir (layar) maka setiap adegan akan terasa lebih khidmat.  Tidak ada gangguan visual baik punggung sang dalang, para penabuh dan anggunya pesinden.  Seluruh kontribusi seniman (seni rupa, seni kriya, seni musik dan vokal) yang bekerja di dapur karawitan dihidangkan kepada pemirsa melalui teatrikal di layar putih.   

Namun saat ini kita menjadi bagian dari riuh rendah, kesibukan dan gurauan pada seniman di panggung didapur pagelaran wayang secara terbuka dan transparan. Fokus tontonan tidak lagi pada layar putih tetapi pada siapapun yang memegang pelantang suara (mic).  Menonton wayang bukan lagi menonton bayangan. Kekhidmatan belajar dari alur cerita menjadi dangkal, kekhusukan menyelami cerita buyar oleh penonton yang nyawer, sensasi menunggu adegan berikutnya lenyap oleh kelucuan bintang tamu.    

1. Untuk menjaga kekhidmatan,  ada kalanya kita tidak perlu melihat secara terbuka bagian dapur. Kenikmatan kopi luwak mungkin akan hilang ketika melihat bagaimana cara menyiapkannya.
2. Tidak perlu mencari tahu lebih dari yang kita perlukan (seperti prinsip dalam PRA).
3. Mencermati lebih dalam penyebaran covid-19 dan kebijakan yang diambil, barangkali justru membuat kita semakin paranoid, jengkel dan marah.
4. Gali informasi seperlunya saja.