HADAPI SERANGAN HAMA TANAMAN DENGAN FERMENTASI MIKA
HADAPI SERANGAN HAMA TANAMAN DENGAN FERMENTASI MIKA
Apa yang terlintas dalam pikiran kita saat mendengar kata “mikroorganisme”? Mungkin kita langsung terhubung dengan bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan pembusukan dan merusak kualitas pangan, atau bahkan virus yang memicu penyakit tertentu.
Meskipun mikroorganisme umumnya dihubungkan dengan hal-hal negatif, sebenarnya ada mikroorganisme dan aktivitasnya yang memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh, aktivitas fermentasi bakteri dapat memberikan perlindungan bagi akar tanaman dari serangan hama. Bagaimana hal ini mungkin terjadi?
Bakteri adalah organisme bersel tunggal (uniseluler) dan prokariot (tidak memiliki inti sel yang bersekat), di mana material organiknya tersusun dalam struktur nukleoid. Salah satu aktivitas bakteri yang bermanfaat dalam perlindungan tanaman adalah fermentasi.
Fermentasi MIKA (Mikroorganisme Akar) dihasilkan melalui proses fermentasi larutan akar tanaman dengan penambahan larutan nutrisi untuk memperbanyak bakteri endofit yang berada dalam jaringan akar tanaman dan bakteri yang berada pada rizosfer. Dengan demikian, pengaplikasian MIKA dapat meningkatkan populasi dan keragaman bakteri tanah, khususnya bagi akar tanaman yang tidak bersimbiosis dengan bakteri tersebut.
Strain bakteri tersebut tergolong dalam Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) atau Rizobakteri Pemicu Pertumbuhan Tanaman (RPPT) yang menghasilkan senyawa, seperti hormon pertumbuhan dan fitotoksin yang dapat memengaruhi pertumbuhan tanaman serta melindungi akar tanaman dari serangan jamur patogen.
Bahan eksudat yang terdiri dari asam amino, asam organik, vitamin, alkaloid, substansi fenolik, dan unsur anorganik seperti kalium, kalsium, magnesium, dan mangan dari akar tanaman digunakan untuk mendukung pertumbuhan tanaman, sehingga menghambat patogen agar tidak berkembang (Baker et al. 1985). Oleh karena itu, fermentasi pada akar tanaman ini tidak hanya berpotensi sebagai fungisida tetapi juga dapat digunakan sebagai zat pertumbuhan tanaman.
Contoh bakteri dalam kategori PGPR meliputi Rhizobium sp. dan Azotobacter sp. yang berasal dari perakaran tanaman kacang, serta Pseudomonas sp. dan Bacillus sp. yang berasal dari perakaran tanaman bambu dan jagung (Cahyani et al. 2017).
Fermentasi bakteri memerlukan larutan nutrisi yang mengandung glukosa. Tahukah Anda dari mana glukosa tersebut berasal?
Glukosa dapat berasal dari limbah kulit pisang dan limbah air cucian beras. Kulit pisang mengandung glukosa dan fruktosa, yang berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dalam proses fermentasi. Selain itu, kulit pisang juga mengandung senyawa flavonoid, tanin, dan terpenoid sebagai senyawa metabolit sekunder yang berpotensi sebagai pestisida nabati untuk mengurangi serangan serangga hama pada tanaman dengan umur pendek (Lumowa dan Bardin 2018).
Menurut Rahmawati et al. (2017), limbah air cucian beras memiliki kandungan karbohidrat berupa pati, vitamin B1, nitrogen, kalium, kalsium, magnesium, fosfor, sulfur, dan zat besi yang bermanfaat dalam menjaga kesehatan dan pertumbuhan tanaman.
Pada proses fermentasi bakteri untuk pembuatan biopestisida, berbagai mikroorganisme dimanfaatkan untuk menghasilkan pestisida yang ramah lingkungan dan efektif dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Bakteri pada air cucian beras, seperti Pseudomonas fluorescens dan bakteri proteolitik pektin, dapat berperan sebagai agen fermentasi yang efektif.
Proses fermentasi memungkinkan bakteri berkembang biak dan menghasilkan metabolit yang berguna dalam melawan patogen dan hama tanaman. Dengan menggunakan limbah air cucian beras sebagai media dalam proses fermentasi, kita dapat memanfaatkan potensi nutrisi dan mikroorganisme yang terkandung di dalamnya. Hal tersebut dapat menciptakan solusi yang lebih alami dan ramah lingkungan dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman, sekaligus mendukung pertanian berkelanjutan.
Pemanfaatan mikroorganisme dalam pertanian untuk biopestisida memiliki dampak positif yang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Langkah ini tidak hanya membantu meningkatkan hasil pertanian yang aman dan berkelanjutan pada SDGs 2: Zero Hunger, tetapi juga berkontribusi pada kesehatan manusia SDGs 3: Good Health and Well-Being dengan mengurangi risiko paparan pestisida kimia berbahaya.
Selain itu, penggunaan biopestisida mendukung praktik pertanian yang bertanggung jawab dan berkelanjutan SDGs 12: Responsible Consumption and Production dengan mengurangi jejak karbon pertanian dan limbah pestisida. Biopestisida juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim SDGs 13: Climate Action dan menjaga keanekaragaman hayati serta ekosistem daratan. Dengan pendekatan ini, pertanian menjadi lebih berkelanjutan, ramah lingkungan, dan mendukung pembangunan berkelanjutan secara global.
Tim Penulis: Adinda Pitaloka ; Alfin Dyas Prasetyo ; Dwi Oktavia Ningsih ; Irma Nurmalia ; Jimat Alfian ; Khairunnisa | Editor: Nurma Wibi Earthany