BERANI GAYA HIDUP BERKOPERASI BERSAMA DESA MARGAMUKTI?
BERANI GAYA HIDUP BERKOPERASI BERSAMA DESA MARGAMUKTI?
“Kan kita pemilik koperasi, jadi kita tidak boleh mendua dari koperasi” ujar Pak Apid, seorang peternak yang pernah berkesempatan mempelajari ilmu peternakan sapi perah di Belanda. Inilah first impression yang kami dapatkan dari seluruh peternak yang bertempat tinggal di Desa Margamukti. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai dan prinsip koperasi tidak hanya dibukukan dalam noktah namun mampu menjadi lifestyle yang sudah mendarah daging dalam diri masyarakat.
Desa dengan luas wilayah sekitar 90 hektar ini dianugerahi dengan hamparan kebun teh yang luas. Para buruh biasanya mulai memetik daun teh saat pagi hari. Kumpulan daun teh tersebut akan disalurkan ke pabrik untuk kemudian diolah. Selain hasil perkebunan teh yang dimanfaatkan, keindahan pemandangan kebun ini juga dijadikan sebagai salah satu agrowisata. Terutama saat libur sekolah yang berbarengan dengan kegiatan KKN-T IPB, banyak keluarga yang berlibur ke Desa Margamukti untuk melihat keindahan kebun teh ini.
Mayoritas penduduk di desa ini bekerja sebagai petani, peternak, dan juga buruh. Awalnya kami sedikit mengalami culture shock dengan kebiasaan masyarakat di desa. Seperti penggunaan bahasa Sunda, ini menjadi tantangan tersendiri bagi mahasiswa yang berasal dari luar Pulau Jawa. Namun masyarakat disini sangat ramah dan aware dengan kehadiran mahasiswa.
Selain memiliki hamparan kebun teh yang luas, Desa Margamukti juga terkenal dengan peternakan sapi perahnya. Meski masih didominasi dengan sistem peternakan tradisional, peternak dapat bertahan dengan profesi tersebut. Proses pemerahan susu sapi juga dilakukan secara manual, begitupun kondisi kandang yang masih berbahan dasar kayu dan sederhana. Namun berbeda dengan Pak Apid, beliau merupakan ketua RW 24 di Desa Margamukti. Saat ini, beliau masih berprofesi sebagai peternak sapi perah. Sebagai peternak, Pak Apid sudah memiliki pemahaman yang tinggi terhadap peternakan sapi perah modern. Saat ini, beliau sudah menggunakan teknologi berupa mesin pemerah susu untuk memerah susu sapinya. Begitupun dengan kandang sapinya, sama seperti peternakan sapi perah di Belanda. Pak Apid pernah mengikuti pelatihan peternakan sapi perah di Belanda. Kesempatan itu ia terima sebagai hadiah atas perlombaan yang pernah ia ikuti. Perlombaan tersebut diprakarsai oleh KPBS (Koperasi Peternak Bandung Selatan) Pangalengan.
Pak Apid merasa sangat terbantu dengan adanya alat pemerah susu tersebut. Sebab proses pemerahan susu berlangsung lebih cepat sehingga lebih menghemat waktu. Ketika ditanya mengapa bapak lebih memilih membeli alat pemerah susu dibandingkan sapi baru seperti para peternak lainnya. Beliau menjawab, “Kita harus berorientasi pada jangka panjang ya, mungkin peternak lain memilih membeli sapi baru. Namun dalam jangka panjang, lebih banyak keuntungan yang didapatkan dengan bantuan alat ini. Seperti tidak capek memerah susu dan lebih hemat waktu.”
Mayoritas peternak di desa ini masih tergolong skala kecil yang memiliki satu hingga lima sapi. Namun juga terdapat beberapa peternak yang telah memiliki 10 ekor sapi perah. Keluhan dari para peternak setelah dilakukan penjajakan adalah terkait dengan harga pakan yang cukup mahal. Sehingga pendapatan yang diperoleh tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan. Pak Apid menyebutkan, “Perbandingan biaya dan pendapatan berkisar 75:25”. Oleh sebab itu, mahasiswa KKN-T Inovasi IPB di Desa Margamukti mencoba untuk memberikan solusi terhadap permasalahan peternak sapi perah tersebut. Sosialisasi dan demonstrasi pun dilakukan dengan tujuan untuk memberikan edukasi dan praktik langsung kepada peternak bagaimana cara membuat pakan silase yang mudah dan murah dengan bahan-bahan yang mudah didapatkan. Harapannya peternak dapat membuat pakan silase sendiri dan mampu menekan biaya pengeluaran untuk ternaknya.
Sisi unik dari masyarakat Desa Margamukti adalah nilai-nilai dan prinsip koperasi yang telah menjadi lifestyle masyarakat. Semua peternak disini telah tergabung menjadi anggota dari KPBS Pangalengan. Saat mahasiswa KKN-T IPB melakukan penjajakan di beberapa RW, terucap sepatah kalimat yang sama dari beberapa peternak, “Kita kan pemilik koperasi.” Kalimat sederhana namun mencerminkan penanaman nilai yang kuat sebagai jati diri pemilik koperasi.
Kehadiran koperasi dibangun dari dua dimensi yakni dimensi ekonomi dan sosial. Sistem kelembagaan ini selain memerhatikan pendapatan juga fokus pada kesejahteraan fisik dan non fisik anggotanya. Dibalik organisasi yang maju ada kolaborasi yang kuat antara anggota dan pemimpinnya. Kolaborasi ini hadir dengan adanya kepercayaan satu sama lain. Benar saja, hal itu terlihat dari jayanya KPBS Pangalengan ini. Selain memiliki Unit Pengolahan Pakan (UPP) sendiri, KPBS juga telah memiliki rumah sakit dan industri pengolahan susu sapi sendiri. Di Desa Margamukti ini kita dapat melihat sistem peternakan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Peternak tidak perlu khawatir bagaimana cara memasarkan susu sapinya, sebab koperasi telah menjamin adanya bergaining power dari para peternak.
Nilai-nilai koperasi di desa ini mulai ditanamkan sejak bayi berada dalam kandungan. Dapat kita lihat dari salah satu program posyandu dan PKK yang menginisiasi pengembangan hidup berkoperasi bagi ibu hamil dan anak-anak.
Lantas muncul pertanyaan, “nilai-nilai koperasi seperti apa yang ditanamkan sebagai gaya hidup di desa tersebut?”. Jawabannya adalah nilai-nilai menolong diri sendiri, demokrasi, persamaan, keadilan, dan solidaritas yang kuat diantara sesama anggota koperasi. Selain itu juga terdapat nilai-nilai etis yang diamalkan yakni kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial, dan peduli pada orang lain. Nilai-nilai tersebut apabila diimplementasikan menjadi lifestyle akan menciptakan lingkungan kelembagaan yang kuat seperti yang tercermin dari kesuksesan KPBS hingga saat ini.
Penerapan gaya hidup berkoperasi penting dilakukan bagi setiap daerah. Hal ini bertujuan untuk menjaga keberlangsungan kelembagaan yang sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yakni koperasi. Perkembangan start-up dewasa ini mungkin lebih maju dibandingkan koperasi. Namun start-up hanya mengutamakan kepentingan ekonomi stakeholder. Oleh sebab itu, mari kita bangun peradaban koperasi dengan menanamkan gaya hidup berkoperasi pada masyarakat sejak dini. Apakah kamu siap menerapkan gaya hidup berkoperasi bersama Desa Margamukti?
Penulis: Intan Permatasari