Artikel

BAGAIMANA PERAN BAKTERI DALAM MENGENDALIKAN HAMA ULAT?

21. Sakinah Amanina - IPB DIGITANI - Tani Nelayan Center IPB University - BAGAIMANA PERAN BAKTERI DALAM MENGENDALIKAN HAMA ULAT - Nurma Wibi Earthany
Artikel / Hama dan Penyakit Tanaman / Pertanian

BAGAIMANA PERAN BAKTERI DALAM MENGENDALIKAN HAMA ULAT?

Bacillus thuringiensis (B. thuringiensis) merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat gram positif. Setelah menghasilkan spora, bakteri ini memproduksi kristal protein yang dikenal sebagai delta-endotoksin (δ-endotoksin). Kristal protein ini memasuki saluran pencernaan serangga dalam bentuk molekul besar dan sebagai protoksin yang tidak aktif, namun menjadi aktif dalam lingkungan basa.

Parasporal body atau kristal protein sebenarnya adalah bentuk protoksin yang dapat berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27 sampai 149 kiloDalton) dengan sifat insektisida ketika terlarut dalam usus serangga yang bersifat basa. Toksin ini aktif berinteraksi dengan sel epitel di usus tengah serangga.

Racun yang dihasilkan oleh B. thuringiensis menyebabkan terbentuknya lubang kecil pada membran sel saluran pencernaan, sehingga mengganggu keseimbangan osmotik sel tersebut. Kristal protein dari racun tersebut akan larut dalam lingkungan basa pada usus hama. Protein ini menjadi aktif oleh enzim pencerna protein serangga dan menempel pada protein reseptor yang berada di permukaan sel epitel usus. Hal ini mengakibatkan terbentuknya pori-pori pada sel, menyebabkan lisis.

Ketika keseimbangan osmotik terganggu, sel mengalami pembengkakan dan pecah yang mengakibatkan kematian serangga. Kristal protein yang dihasilkan oleh B. thuringiensis juga menyebabkan pembengkakan, penskalaan, dan kerusakan pada sel epitel usus tengah cacing pita. Perubahan utama pada sel midgut yang terinfeksi melibatkan pembesaran nukleus, perubahan pada retikulum endoplasma yang menyerupai vakuola, serta pembusukan atau pembubaran mikrofilamen.

B. thuringiensis telah banyak digunakan sebagai agen hayati dalam penelitian pengendalian hama tanaman dan terbukti sangat efektif. Penggunaan bioinsektisida B. thuringiensis dapat menyebabkan gerakan ulat grayak menjadi lambat, nafsu makannya berkurang, dan mengakibatkan perubahan warna pada ulat mulai dari hijau kecoklatan, yang kemudian berkembang menjadi warna hitam.

Pada 8 sampai 10 hari setelah aplikasi, tubuh ulat grayak menjadi lembek, mengeluarkan cairan, dan akhirnya membusuk serta mengering (Tampubolon et al., 2013).

Hasil penelitian tentang efektivitas penggunaan B. thuringiensis sebagai bioinsektisida untuk mengendalikan hama Spodoptera litura (S. litura) telah dilaporkan oleh Rizali (2018). Menurutnya, aplikasi bioinsektisida B. thuringiensis dapat mengeliminasi hama S. litura sejak 2 hari setelah aplikasi pada konsentrasi 10, 15, dan 20 gram per liter air.

Perlakuan tersebut berhasil mematikan hingga 75 sampai 100 persen dari kepadatan populasi ulat grayak. Semakin tinggi konsentrasi B. thuringiensis, semakin tinggi tingkat kematian hama tersebut karena jumlah spora yang hadir lebih banyak, sehingga jumlah spora yang dikonsumsi oleh serangga uji juga meningkat.

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Tampubolon et al. (2013) menunjukkan bahwa bioinsektisida yang dibuat menggunakan B. thuringiensis yang telah diubah menjadi bentuk bubuk dan larut dalam air dapat efektif membunuh S. litura. Dalam penelitian tersebut, konsentrasi bioinsektisida B. thuringiensis sebesar 30 dan 20 gram per liter air terbukti paling efektif dalam mengendalikan S. litura, karena sejak hari kedua setelah penyemprotan bioinsektisida ke makanannya, hama tersebut sudah dapat mati.

Efektivitas tersebut disebabkan oleh keterkaitan erat antara B. thuringiensis dengan toksin yang dihasilkannya, yaitu eksotoksin beta yang disebut fly toxin atau fly vector, yang digunakan untuk mematikan larva Lepidoptera, Hymenoptera, dan Diptera.

Penulis: Sakinah Amanina | Editor: Nurma Wibi Earthany

Tanya Pakar

X