Artikel

ANALISIS POTENSI DAN MASALAH LANSKAP WADUK JATILUHUR, DESA JATI MEKAR, KAB. PURWAKARTA UNTUK DIKEMBANGKAN MENJADI DAERAH EKOWISATA

img23
Artikel / Desa Sahabat IPB University

ANALISIS POTENSI DAN MASALAH LANSKAP WADUK JATILUHUR, DESA JATI MEKAR, KAB. PURWAKARTA UNTUK DIKEMBANGKAN MENJADI DAERAH EKOWISATA

Peta Desa Jatimekar (Gambar: Google Earth)

Desa Jatimekar merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat yang memiliki potensi dibidang perikanan. Desa Jatimekar terdiri dari 5 RW dan 19 RT yang didiami oleh masyarakat sebanyak 3.748 jiwa. Wilayah desa yang berada di sekitar Waduk Jatiluhur menyebabkan desa ini dikelilingi oleh wisata yang berlimpah.

Waduk Jatiluhur merupakan salah satu dari banyak RTB (Ruang Terbuka Biru) penting yang berada di Indonesia. Fungsi utama dari Waduk Jatiluhur ini sendiri adalah sebagai penyedia pasokan air bagi masyarakat Jawa Barat. Diluar fungsi utama tersebut, terdapat potensi pariwisata untuk dikembangkan. Ekowisata merupakan pariwisata yang memiliki keseimbangan antara aspek pelestarian alam dan pengembangan ekonomi masyarakat lokal. Ada beberapa aspek yang harus ditinjau agar dapat menentukan apakah Waduk Jatiluhur layak untuk dikembangkan menjadi daerah ekowisata.

Pengertian

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keindahan alam dan kaya akan budaya. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi untuk beragam jenis pariwisata dan merupakan salah satu daerah tujuan wisata. Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, pariwisata merupakan berbagai macam kegiatan wisata dan didukung dengan fasilitas serta pelayanan yang disediakan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha. Pariwisata memiliki peranan yang penting bagi Indonesia sebagai salah satu sektor yang efektif untuk meningkatkan devisa negara jika potensinya dikembangkan dengan baik. Selain itu, pariwisata juga berperan dalam meningkatkan industri pariwisata yang dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi masyarakat dan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar.

Potensi pariwisata yang dapat dikembangkan salah satunya adalah waduk. Waduk merupakan tempat penampungan air saat mencapai volume yang berlebihan, sehingga kemudian dapat dimanfaatkan pada waktu yang diperlukan. Waduk terbesar yang berada di Indonesia adalah waduk jatiluhur yang terletak pada kecamatan jatiluhur, kabupaten Purwakarta, provinsi Jawa Barat. Gagasan pembangunan Waduk Jatiluhur sudah dimulai sejak abad ke-19. Pembangunan Waduk Jatiluhur dimulai pada tahun 1957 dengan tujuan pada awalnya hanya untuk kepentingan irigasi, listrik, dan jalur transportasi air. Dampak dari pembangunan Waduk Jatiluhur adalah tenggelamnya 14 desa dengan jumlah penduduk 5.002 orang. Penduduk tersebut dipindahkan ke daerah di sekitar waduk dan Kabupaten karawang (Hamzah et al. 2016). Seiring berkembangnya zaman, fungsi dari Waduk Jatiluhur semakin beragam, yaitu memenuhi kebutuhan irigasi lahan persawahan, pasokan air minum DKI Jakarta dan sekitarnya, pembangkit listrik, dan pengendali banjir. Selain itu, perairan Waduk Jatiluhur dimanfaatkan untuk budidaya perikanan keramba jaring apung yang dapat menjadi daya tarik dari Waduk Jatiluhur. Melihat potensi yang ada, Waduk Jatiluhur juga dimanfaatkan untuk pariwisata dan olahraga air. Perubahan fungsi tersebut berpengaruh terhadap kualitas dan keberlanjutan pemanfaatan Waduk Jatiluhur.

Ilmu lanskap merupakan ilmu mengenai perencanaan, desain, manajemen, dan pemeliharaan lingkungan, baik di dalam dan di luar ruangan yang mencakup berbagai aspek mulai dari seni, lingkungan, arsitektur, teknik, dan sosiologi. Ilmu lanskap diperlukan untuk merencanakan kawasan wisata yang baik untuk keberlanjutan daerah wisata. Perencanaan kawasan wisata yang baik adalah kawasan wisata yang dapat membuat kehidupan masyarakat lebih baik, meningkatkan ekonomi masyarakat, melindungi lingkungan, dan minim dampak negatif (Gunn 1994). Kualitas dan keberlanjutan Waduk Jatiluhur dapat terjaga dengan menjaga kualitas lanskap yang ada di daerah Waduk jatiluhur. Pengembangan dan perencanaan potensi Waduk Jatiluhur harus memperhatikan berbagai aspek, khususnya geografis. maka dari itu, penerapan ilmu lanskap yang baik diperlukan untuk menjaga potensi pengembangan Waduk Jatiluhur. Penataan lanskap kawasan wisata juga menjadi salah satu faktor penting untuk meningkatkan daya tarik dari Waduk Jatiluhur. Perencanaan lanskap yang baik akan meningkatkan kenyamanan, keindahan, dan citra dari suatu kawasan wisata (Adriani et al. 2016).

Ekowisata adalah salah satu bentuk pariwisata yang mendukung keberlanjutan dari kondisi alam sekitar. Waduk Jatiluhur yang merupakan objek vital di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi area pariwisata. Agar pelaksanaan dapat berkelanjutan maka konsep ekowisata merupakan bentuk pariwisata yang pantas diterapkan dalam Waduk Jatiluhur. Wisata yang berkelanjutan dapat menjadi salah satu langkah untuk mengelola sumber daya. Penerapan konsep ekowisata tidak hanya ditujukan bagi pengunjung, namun melibatkan masyarakat setempat. Konsep ekowisata cukup banyak diminati, karena wisatawan sudah mulai jenuh mengunjungi pariwisata buatan. Dengan meninjau kembali potensi dan permasalahan, maka akan diketahui kesiapan kawasan Waduk Jatiluhur untuk dikelola menjadi daerah ekowisata.

Potensi

Waduk Jatiluhur merupakan tirta penting yang bertujuan untuk membantu irigasi, PLTA, dan sebagai cadangan air utama bagi masyarakat Jawa Barat. setelah mengitari daerah waduk dan berbicara dengan warga lokal sekitar, Waduk Jatiluhur memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi daerah pariwisata. Ekowisata merupakan pariwisata berkelanjutan yang bertanggung jawab pada lingkungan, ekonomi, dan kesejahteraan warga sekitar. Potensi pada Waduk Jatiluhur mendukung untuk pengembangan pariwisata dengan konsep ekowisata. Daya tarik alam dan kegiatan masyarakat sekitar bisa menjadi daya tarik kuat bagi para wisatawan untuk mengunjungi Waduk Jatiluhur. Berdasarkan penelitian Aisah (2022), terdapat dua jenis faktor motivasi para wisatawan untuk berkunjung ke ekowisata waduk, yaitu faktor motivasi pengembangan diri dan faktor motivasi rekreasi.

Keindahan visual yang disediakan oleh Waduk Jatiluhur bisa menjadi daya tarik kuat bagi pengunjung. Waduk Jatiluhur memiliki luas ± 83 km2 dan dikelilingi oleh bentukan lanskap dataran tinggi yang memberikan nilai visual yang indah. Pemandangan dataran tinggi yang masih hijau dan berbukit-bukit dengan kombinasi langit biru yang masih bersih menjadi daya tarik visual yang kuat dan saat petang terdapat pemandangan indah dari matahari terbenam memberikan warna oranye yang indah di langit. Motivasi rekreasi pengunjung memiliki tujuan untuk penyegaran fisik dan mental. Dengan memanfaatkan nilai visual alami, Waduk Jatiluhur dapat memberikan nilai terapi visual bagi para pengunjung yang mencari rekreasi.

Pemandangan daerah Waduk Jatiluhur (Foto: Samosir, J. P. A.)
Pemandangan matahari terbenam Waduk Jatiluhur (Foto: Samosir, J. P. A.)

Kegiatan dan kebudayaan warga sekitar merupakan daya tarik wisata yang bisa memberikan nilai edukasi bagi wisata. Waduk Jatiluhur merupakan area pelatihan bagi para atlet dayung Indonesia yang sudah sampai pada tingkat internasional untuk mewakili Indonesia di mancanegara. Kegiatan pelatihan ini dilaksanakan setiap pagi dan sore secara rutin dan bisa disaksikan oleh masyarakat sekitar dan wisatawan yang sedang berkunjung. Setiap tahun pada tanggal 17 Agustus juga dilaksanakan pertunjukan dayung oleh para atlet untuk menjadi daya tarik bagi orang luar untuk berkunjung. Tersedia juga penyewaan kapal bagi para pengunjung jika ingin mengitari area waduk. Selain itu ada budidaya eceng gondok dan Keramba Jaring Apung (KJA) bagi para pengunjung sebagai nilai edukasi bagi para pengunjung yang memiliki motivasi pengembangan diri dengan mendapatkan pengetahuan baru.

Kunjungan ke daerah waduk bersama warga desa (Foto: Samosir, J. P. A.)

Permasalahan

Pengembangan ekowisata pada Waduk Jatiluhur membutuhkan analisis permasalahan eksisting. Analisis dan peninjauan permasalahan dapat digunakan menjadi indikator kelayakan Waduk Jatiluhur untuk dikembangkan menjadi Ekowisata. Menggunakan MICMAC oleh Almeida & de Moraes (2013) dan Fauzi (2019) dapat 1. Mengidentifikasi variabel-variabel utama yang memiliki pengaruh., 2. Pemetaan hubungan antarvariabel dan relevansi antarvariabel., dan 3. Mengungkapkan rantai sebab akibat. Sistem MICMAC menghasilkan empat kuadran (Hindayani 2021) dengan menggunakan dua variabel, yaitu influence (pengaruh) dan dependance (ketergantungan). Kuadran I merupakan variabel input atau penggerak yang memiliki pengaruh yang kuat. Kuadran II merupakan variabel kontrol yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang kuat. Kuadran III merupakan variabel keluaran yang ketergantungan dan pengaruhnya lemah. Kuadran IV merupakan “excluded variable” atau variabel yang memiliki pengaruh dan ketergantungan yang sangat kecil sehingga keberadaannya tidak akan mengganggu suatu sistem kerja. Permasalahan pada Waduk Jatiluhur akan dibahas per-kuadran untuk meninjau lebih jauh kelayakan waduk Jatiluhur untuk dikembangkan menjadi kawasan ekowisata.

Kuadran I menunjukan bahwa pendorong utama untuk keberhasilan waduk dikembangkan menjadi daerah ekowisata adalah konflik kepentingan pemanfaatan waduk. Variabel menyatakan bahwa dibutuhkannya regulasi yang jelas mengenai penggunaan kawasan Waduk Jatiluhur demi tercapainya tujuan bersama dari lembaga dan pemerintahan. Tiap lembaga yang yang terlibat dalam pengelolaan Waduk Jatiluhur memiliki regulasi yang berbeda-beda sehingga tidak memiliki tujuan akhir yang sama. Pada UU no. 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan pada pasal 8 ada dinyatakan, bahwa penyelenggaraan pariwisata didasarkan oleh beberapa prinsip yang salah satunya adalah menjamin keterpaduan antar sektor, antar daerah, antara pusat dan daerah yang merupakan satu kesatuan sistemik dalam kerangka otonomi daerah, serta keterpaduan antar pemangku kepentingan. Kurangnya kerjasama antar sektor daerah menyebabkan ketidakpastian dari fungsi dan tujuan Waduk Jatiluhur. Pembagian ruang dalam daerah waduk yang tidak teratur merupakan efek samping dari regulasi yang tidak pasti. Tanpa pembagian ruang yang tetap, banyak aktivitas yang tidak terkontrol karena tidak diberi batasan ruang kegiatan.

Kuadran II merupakan variabel yang sensitif, yaitu dimensi lingkungan dimana perubahan atau ketidakstabilan dalam pengembangan akan memiliki pengaruh pada sistem secara menyeluruh. Kualitas air menjadi perhatian utama dikarenakan air dapat digunakan sebagai sarana dan prasarana pariwisata berbasis tirta yang sesuai dengan PP 22 Tahun 2021 mengenai mutu kualitas air. Ada dua permasalahan utama yang mempengaruhi kualitas air pada Waduk Jatiluhur, yaitu KJA yang melebihi daya tampung dan pertumbuhan tanaman air eceng gondok yang sangat cepat. Hal ini terjadi karena tidak ada batasan area pelaksanaan setiap kegiatan, sehingga kedua kegiatan tersebut semakin melebar tiap tahunnya dan memberikan dampak yang buruk bagi waduk. Keramba Jaring Apung atau KJA adalah wadah budidaya perairan yang ditempatkan pada suatu badan air yang besar, seperti waduk, danau, dsb. Daya tampung KJA pada Waduk Jatiluhur adalah 11.306 petak, sementara jumlah KJA eksisting sudah melebihi kapasitas daya tampung, yaitu 46.270 petak. Pengaruh buruk bagi kualitas air dikarenakan jumlah limbah organik dari pakan yang terbuang ke dalam perairan. Hal ini menimbulkan pengkayaan unsur hara dan mempercepat eutrofikasi yang selalu ditandai dengan berkembangnya jenis tanaman air seperti enceng gondok (Pujiastuti 2013). Eceng gondok dapat menyerap tembaga, logam, hingga limbah pabrik sehingga bisa menjaga kebersihan dari badan air. Eceng gondok yang dapat hidup dan tumbuh dalam kondisi apapun dalam jangka waktu yang cepat bisa membawa masalah pada perairan jika pertumbuhannya tidak dikontrol. Limbah organik yang berlebih dari KJA menyebabkan populasi eceng gondok di Waduk Jatiluhur berlebih. Populasi eceng gondok berlebih membawa pengaruh buruk bagi kehidupan bawah air, karena sinar matahari sulit untuk menembus permukaan air kadar oksigen pada air menjadi berkurang dan eceng gondok mati akan jatuh ke dasar permukaan air dan seiring waktu akan menumpuk menyebabkan kedangkalan.

Wawancara dengan salah satu pekerja di salah satu KJA (Foto: Samosir, J. P. A.)
KJA di waduk (Foto: Samosir, J. P. A.)
Eceng gondok pada waduk (Foto: Samosir, J. P. A.)

Kuadran III merupakan perubahan yang sensitif pada perubahan pada kuadran I dan kuadran II. Dihasilkan enam variabel, yaitu empat variabel lingkungan 1. Konservasi perairan., 2. Daya dukung lingkungan., 3. Jumlah pengurangan KJA., 4. Konservasi sumber daya alam (perikanan tangkap)., dan dua variabel ekonomi 1. Peningkatan retribusi daerah., dan 2. Peningkatan pendapatan warga lokal. Keenam variabel ini sensitif terhadap perubahan karena bersifat bergantung kepada kuadran I dan kuadran II. Semakin positif hasil analisis variabel kuadran I dan II, maka variabel kuadran III juga akan demikian dan juga sebaliknya. Berdasarkan analisis variabel yang ada Waduk Jatiluhur masih membutuhkan pengelolaan berkelanjutan agar bisa dikembangkan menjadi daerah Ekowisata.

Solusi

Berdasarkan beberapa permasalahan yang sudah disebutkan sebelumnya terdapat beberapa solusi yang ditemukan yaitu menciptakan regulasi ekowisata yang tepat, pembuatan perencanaan lanskap ekowisata, dan melakukan program pemanfaatan eceng gondok, citarum harum, dan pengontrolan KJA.

Pada permasalahan kuadran I menyatakan bahwa regulasi yang kurang jelas mengenai penggunaan kawasan Waduk Jatiluhur, sehingga diperlukannya regulasi yang jelas untuk menjadikan Waduk Jatiluhur sebagai daerah ekowisata. Regulasi ekowisata yang baik adalah regulasi yang mencakup prinsip dari ekowisata itu sendiri dimana terdapat enam prinsip, yaitu membentuk pariwisata yang berkelanjutan, memberikan pengalaman positif dan pelayanan yang baik pada wisatawan, mencegah dampak negatif terhadap alam sehingga mendorong peningkatan kualitas lingkungan, memberikan dampak finansial pada masyarakat, melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan maupun pengelolaan, dan memberikan pengetahuan terhadap pentingnya kelestarian lingkungan. Keenam prinsip ini lalu diterapkan dalam perencanaan lanskap dalam bentuk pembagian ruang yang tepat dengan kesesuaian lahan.

Contoh perencanaan lanskap sekitar tirta (Gambar: Kompasiana.com)

Setelah itu, permasalahan kuadran II yang menyatakan bahwa kualitas air menjadi perhatian utama karena akan berpengaruh pada mutu kualitas air. Kualitas air menjadi permasalahan utama karena adanya KJA yang melebihi daya tampung dan dapat mempengaruhi percepatan pertumbuhan tanaman air seperti eceng gondok. Berdasarkan permasalahan kuadran II perlu dilakukan pengontrolan aktivitas KJA dan memperhatikan jumlah KJA yang berada pada waduk. Selain itu, dilakukan pengawasan KJA lebih lanjut karena KJA akan menghasilkan limbah organik dari pakan yang akan mengalir di perairan. Unsur hara yang dihasilkan dapat mempercepat laju pertumbuhan eceng gondok. Laju pertumbuhan eceng gondok yang melampaui batas perlu dibatasi atau dikurangi dengan cara dilakukan pemanfaatan eceng gondok seperti pembuatan kerajinan tangan dan pupuk. Pemanfaatan eceng gondok juga diharapkan dapat mengurangi populasi yang berlebih dan tidak menumpuk pada dasar waduk yang menyebabkan kedangkalan. Pemanfaatan eceng gondok dan pengawasan KJA diharapkan dapat selaras dengan program citarum harum. Program citarum harum merupakan program yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas sungai citarum dimana sungai citarum merupakan sungai utama yang mengaliri Waduk Jatiluhur.

Solusi dari permasalahan kuadran I dan kuadran II adalah dibuatnya regulasi yang jelas sesuai dengan konsep ekowisata dan melibatkan seluruh lembaga yang berperan dalam pemanfaatan Waduk Jatiluhur. Pembuatan regulasi yang jelas juga harus berkesinambungan dengan pemanfaatan eceng gondok dan program citarum harum sehingga dapat menciptakan konsep ekowisata yang berkelanjutan.

Penutup

Waduk Jatiluhur memiliki peran penting bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat Jawa Barat, tetapi dengan potensi yang dimiliki daerah waduk layak untuk dikembangkan menjadi daerah ekowisata. Pengembangan ekowisata di daerah waduk akan mengoptimalkan fungsi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Ada permasalahan yang harus diselesaikan demi waduk dapat memenuhi kriteria daerah ekowisata, baik regulasi fungsi hingga pengelolaan lingkungan. Dibutuhkan regulasi ekowisata yang kuat dan telah didiskusikan oleh setiap lembaga pengelola waduk dan masyarakat untuk memastikan semua kegiatan dan tindakan yang akan dilaksanakan pada daerah waduk mempertahankan fungsi waduk dan prinsip keberlanjutan wisata. Regulasi ini juga menjadi landasan perencanaan lanskap yang akan memastikan bahwa setiap tindakan yang memiliki pengaruh kepada kebersihan air waduk tidak melewati batasan-batasan ruang fungsi yang sudah diberikan atau dihimbaukan.

Referensi:

  • Adriani H, Hadi S, Nurisjah S. 2016. Perencanaan lanskap kawasan wisata berkelanjutan di kecamatan cisarua, kabupaten bogor. Jurnal Lanskap Indonesia. 8(2): 53-69.
  • Aisah S, Gunawan J, Hakim NS. 2022. Karakteristik, motivasi, dan segmentasi wisatawan lokal ekowisata bendungan di masa pandemi Covid-19 (Studi kasus: Jatiluhur Valley dan Resort). Jurnal Sain dan Seni ITS. 11(2): 21-26.
  • Devy HA, Soemanto RB. 2017. Pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam sebagai daerah tujuan wisata di kabupaten karanganyar. Jurnal Sosiologi DILEMA. 32(1): 34-44.
  • Hamzah, Maarif MS, Marimin, Riani E. 2016. Status mutu air waduk jatiluhur dan ancaman terhadap proses bisnis vital. Jurnal Sumber Daya Air. 12(1): 47-60.
  • Hindayani P, Pratama AR, Anna Z. 2021. Strategi prospektif pengembangan dalam ekowisata Waduk Cirata yang berkelanjutan. Jurnal Ilmu Lingkungan. 19(3): 620-629.

Penulis: Joana Putri Angelina Samosir

Tanya Pakar

powered by Advanced iFrame. Get the Pro version on CodeCanyon.