KRATOM: ANTARA OBAT HERBAL DAN KONTROVERSI GLOBAL

KRATOM: ANTARA OBAT HERBAL DAN KONTROVERSI GLOBAL

Kratom (Mitragyna speciosa), tanaman endemik Asia Tenggara, kini menjadi topik perbincangan hangat di berbagai negara. Tanaman ini telah lama digunakan oleh masyarakat lokal sebagai obat herbal dan stimulan, terutama di negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Berkerabat dekat dengan pohon kopi, kratom memiliki tinggi antara 4 hingga 16 meter dan tumbuh subur di dekat aliran sungai yang kaya bahan organik.
Di Indonesia, kratom lebih dikenal dengan nama “purik,” “kedamba,” atau “sapat.” Sedangkan di Malaysia disebut “ketum” atau “biak,” dan di Thailand dikenal sebagai “krathom” atau “thom.” Penggunaan kratom telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat pedesaan di Asia Tenggara selama ribuan tahun. Kratom digunakan untuk meningkatkan produktivitas, mengatasi kelelahan, serta mengobati berbagai penyakit seperti diabetes, diare, demam, dan nyeri.
Penggunaan Tradisional dan Potensi Medis
Nelayan, petani, dan pekerja di Malaysia dan Thailand secara tradisional mengunyah daun kratom untuk menambah stamina dan menghadapi kerasnya cuaca tropis. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Cinosi dkk. (2015), kratom mengandung lebih dari 40 alkaloid, dengan senyawa paling dominan adalah mitragynine. Senyawa ini diketahui memiliki sifat analgesik (pereda nyeri) yang kuat, mirip dengan morfin, namun dengan struktur kimia yang berbeda. Penggunaannya secara tradisional melibatkan berbagai cara. Kratom digunakan dengan dikunyah, dijadikan tapal untuk luka, hingga diseduh menjadi teh untuk mengatasi nyeri otot dan kelelahan.
Namun, di balik potensinya sebagai obat herbal tradisional, kratom juga menimbulkan banyak kontroversi di berbagai negara. Dalam sebuah kajian oleh Raini (2017), disebutkan bahwa pada dosis rendah, kratom dianggap aman, namun pada dosis tinggi dapat bersifat toksik. Kesulitan dalam menetapkan dosis aman yang efektif menjadi salah satu tantangan dalam pengembangan kratom sebagai obat yang diakui secara medis.
Kratom juga memiliki efek samping yang tidak boleh diabaikan. Beberapa pengguna melaporkan gejala mual, sembelit, gangguan tidur, disfungsi ereksi sementara, serta gatal-gatal. Penggunaan jangka panjang bahkan dapat menyebabkan anoreksia, penurunan berat badan, dan kerontokan rambut. Selain itu, beberapa pengguna juga melaporkan gejala putus obat, seperti nyeri otot, gangguan mood, serta diare.
Lebih mengkhawatirkan lagi, beberapa laporan menyebutkan bahwa kratom dapat berpotensi mematikan jika dikombinasikan dengan senyawa lain. Salah satu kasus yang terkenal adalah kematian akibat produk berbasis kratom yang disebut “Krypton” di Swedia, dengan sembilan kasus kematian terdokumentasi.
Namun, menariknya, belum ada laporan kematian atau insiden keracunan terkait penggunaan kratom di negara-negara Asia. Ini mungkin disebabkan oleh penggunaan kratom asli dengan dosis yang lebih rendah di Asia Tenggara, serta pandangan bahwa kratom adalah obat herbal tradisional. Fenomena ini juga tidak menimbulkan perilaku berisiko, seperti berbagi jarum suntik, yang sering dikaitkan dengan penyalahgunaan zat opioid lainnya.
Kontroversi dan Regulasi Kratom
Di berbagai negara, kratom memicu kontroversi regulasi. Di Denmark, Jerman, Finlandia, Rumania, dan Selandia Baru, kratom dikendalikan sebagai zat berbahaya yang masuk dalam golongan obat-obatan terlarang. Sementara itu, di Inggris, Austria, Belgia, Yunani, sebagian besar Amerika Serikat, serta Indonesia, kratom masih legal meskipun tetap diawasi.
Di Indonesia, penggunaan kratom menimbulkan perbedaan pendapat di antara berbagai instansi pemerintah. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) mendorong pelarangan kratom, sementara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mempertimbangkan penggunaannya untuk tujuan medis. Meskipun Kemenkes sempat setuju memasukkan kratom dalam kategori narkotika golongan 1 pada tahun 2017, hingga kini kratom belum dimasukkan ke dalam regulasi formal terkait narkotika. Sebaliknya, Kemenkes masih melakukan kajian untuk kemungkinan memasukkan kratom dalam golongan narkotika 2 atau 3.
Namun, upaya pelarangan kratom mendapat penolakan dari berbagai pihak. Penolakan terutama datang dari masyarakat di Kalimantan yang sudah mengembangkan kratom sebagai komoditas ekspor penting. Kratom dianggap memiliki dampak ekonomi yang signifikan bagi para petani lokal. Pemerintah Indonesia saat ini tengah mempersiapkan kratom sebagai komoditas ekspor unggulan, dengan nilai ekspor yang mencapai USD 7,33 juta per tahun.
Meskipun kratom dianggap kontroversial, potensi ekonominya tidak bisa diabaikan. Di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, petani kratom bisa meraup penghasilan antara 1 hingga 8 juta rupiah per bulan dari hasil budidaya dan penjualan kratom. Pemerintah Indonesia pun sedang mempertimbangkan untuk mengembangkan industri pengolahan kratom guna meningkatkan nilai ekspor dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Namun, untuk memastikan perkembangan ini berjalan dengan baik, diperlukan kebijakan yang tepat. Kebijakan kratom harus dirumuskan dengan bijak agar tidak ada kekosongan regulasi dan kratom dapat digunakan dengan aman dan efektif. Potensi kratom sebagai bahan obat sangat besar, namun di sisi lain, risiko penyalahgunaan dan efek sampingnya harus tetap diwaspadai.
Penulis: Rahel Azzahra | Editor: Rahel Azzahra