KENAL LEBIH DEKAT DENGAN TRADISI UNIK AMPIH PARE DESA DANGIANG YANG TETAP EKSIS DI TENGAH KRISIS
KENAL LEBIH DEKAT DENGAN TRADISI UNIK AMPIH PARE DESA DANGIANG YANG TETAP EKSIS DI TENGAH KRISIS
Indonesia, negeri yang kaya akan tradisi dan budaya mulai dari ujung Pulau Sumatera hingga Papua. Terdiri dari beragam suku, dengan tradisi dan budaya yang begitu kaya yang menjadi nyawa dan jati diri Bangsa Indonesia. Namun, di era modern saat ini, eksistensi tradisi dan budaya mulai tergerus bahkan hilang akibat kurangnya kesadaran untuk melestarikan kebudayaan di masyarakat.
Namun, hal tersebut sepertinya tidak berlaku di Desa Dangiang. Desa yang terletak di Kecamatan Banjarwangi ini merupakan salah satu daerah di Garut yang masih menjaga kebudayan dan adat istiadatnya dengan begitu baik. Tradisi dari zaman leluhur masih mudah untuk ditemukan disana, seperti siram zimat, upacara siraman, ngalungsur geni dan ampih pare.
Ampih pare merupakan salah satu tradisi yang dilestarikan oleh masyarakat Desa Dangiang. Ampih pare merupakan tradisi panen padi yang telah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat Desa Dangiang. Kata “ampih” berasal dari bahasa Sunda yang berarti memanen, sedangkan “pare” berarti padi. Meskipun demikian, tradisi ini bukan sekadar aktivitas memanen padi, tetapi juga ekspresi rasa syukur dan penghormatan terhadap alam dan Tuhan Yang Maha Esa.
Ampih pare rutin dilaksanakan oleh masyarakat Desa Dangiang setiap tahunnya. Terbaru, tradisi ampih pare pada tanggal 19 juli 2024, berlokasi di rumah adat dan lapangan NU Desa Dangiang. Menariknya, terlaksananya tradisi ampih pare selalu dilakoni oleh anak muda NU yang terhimpun dalam PR IPNU IPPNU Desa Dangiang. Hal tersebut merupakan salah satu upaya masyarakat Desa Dangiang untuk melestarikan tradisi ampih pare di kalangan anak muda dengan mengajak mereka untuk berperan secara aktif. Tidak ingin tinggal diam, ampih kali ini juga dimeriahkan oleh kehadiran mahasiswa IPB University yang sedang melaksanakan KKN di desa tersebut.
Prosesi ampih pare umunya dimulai dengan tawasulan di rumah joglo (rumah adat) oleh para kuncen. Istilah “kuncen” berasal dari bahasa Sunda yang berarti “penjaga” atau “pemelihara”. Kuncen bertugas menjaga dan melestarikan tradisi serta adat istiadat di Desa Dangiang. Mereka memastikan bahwa semua ritual dan tahapan dalam tradisi ampih pare dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang telah diwariskan oleh leluhur.
Setelah upacara adat di rumah joglo oleh para kuncen dan tetua adat selesai, acara kemudian dipindahkan ke lapangan NU yang terletak di dekat kantor Kepala Desa Dangiang. Selama mobilisasi, para tetua desa akan mengotong bambu yang diikat padi kemudian diiring-iringi dengan masyarakat lain membawa bakul berisi padi. Padi tersebut kemudian dibawa dan dikumpulkan di leuit. Menariknya, padi yang telah dibawa ke leuit tersebut dapat digunakan untuk membantu membantu masyarakat yang dianggap kesulitan untuk makan. Padi tersebut juga dapat digunakan untuk kegiatan desa sehingga tidak perlu mengumpulkan padi lagi.
Ampih pareh 2024 juga terasa begitu istimewa. Acara ampih pareh juga diselingi dengan kegiatan permainan tradisional. Selingan tersebut bertujuan untuk mengenalkan kembali permainan tradisional pada anak anak mengingat permainan mereka saat ini kebanyakan di gadget. Permainan tersebut terdiri dari jajangkungan, kokoboyan, dam-daman, gobag, bekles, congkak, loncat tinggi, soldah dan namarakaan. Antusiasme masyarakat Desa Dangiang untuk mengikuti permainan permainan tersebut sangat tinggi karena merasa nostalgia terhadap permainan mereka dulu.
Ampih pare di Desa Dangiang adalah salah satu wujud kepedulian kita terhadap warisan budaya nenek moyang yang kaya akan nilai-nilai luhur. Dengan melestarikan tradisi ini, kita tidak hanya menjaga warisan budaya nenek moyang, tetapi juga memperkuat identitas dan kearifan lokal yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Penulis: Rafi Chaidir Kusumo Prastiono