DISKUSI NASIONAL SEBAGAI WADAH ASPIRASI PETANI PEREMPUAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
DISKUSI NASIONAL SEBAGAI WADAH ASPIRASI PETANI PEREMPUAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM
“Ketika tidak panen dan utang menumpuk, kesehatan menurun, dan sering terjadi pertikaian dalam rumah tangga. Bahkan, hampir terjadi perceraian karena kondisi ini.”
DIGITANI.IPB.AC.ID, Bogor – Tani dan Nelayan Center (TNC) IPB University berkolaborasi dengan Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Gerakan Petani Nusantara (GPN), dan LaporIklim dalam menyelenggarakan Diskusi Nasional pada Kamis (26/9) di Ruang Sidang Faperta, Fakultas Pertanian IPB University.
Acara ini diselenggarakan untuk memperingati Hari Tani Nasional yang dihadiri oleh 20 petani perempuan dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Ciamis, Tuban, Manggarai Barat, dan Kebumen. Diskusi yang dilakukan ini membahas isu penting mengenai adaptasi petani terhadap perubahan iklim dan evaluasi kebijakan pertanian, terutama dari perspektif petani perempuan.
Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan bertajuk “Refleksi Petani Nusantara: Adaptasi Petani terhadap Perubahan Iklim dan Kebijakan Pertanian”. Selain itu, hasil dari Focus Group Discussion (FGD) Perempuan Petani Pejuang yang digelar pada hari sebelumnya juga dipresentasikan, dengan harapan agar aspirasi petani perempuan dapat tersampaikan kepada para pemangku kepentingan.
Kepala TNC IPB University, Prof. Hermanu Triwidodo, M.Sc., dalam sambutannya menegaskan bahwa acara ini terlaksana berkat gotong royong dari berbagai pihak yang memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan petani.
Dampak Perubahan Iklim bagi Petani Perempuan
Perwakilan petani perempuan, Etik dari Yogyakarta, mengungkapkan dampak signifikan perubahan iklim terhadap kehidupan petani perempuan, terutama di sektor ekonomi. Ia menjelaskan bahwa petani perempuan sering kali harus mengubah jam kerja di lahan, mengorbankan waktu istirahat, serta menanggung beban finansial yang lebih besar akibat gagal panen.
Banyak dari mereka terpaksa berutang karena hasil panen yang tidak mencukupi akibat perubahan iklim. “Mereka yang memiliki banyak utang otomatis terganggu kesehatannya. Karena tidak bisa tidur, mereka mengalami tekanan darah tinggi, insomnia, vertigo, masalah lambung, hingga asam urat,” keluh Etik.
Selain berdampak pada fisik, gagal panen juga menyebabkan stres mental, bahkan mempengaruhi keharmonisan rumah tangga petani. “Ketika tidak panen dan utang menumpuk, kesehatan menurun, dan sering terjadi pertikaian dalam rumah tangga. Bahkan, hampir terjadi perceraian karena kondisi ini,” tambahnya.
Etik juga menyampaikan bahwa petani perempuan sering kali merasa diabaikan oleh pemerintah. Menurutnya, banyak kebijakan yang hanya ditujukan untuk petani laki-laki, padahal petani perempuan berperan penting dalam pengolahan hasil panen dan inovasi produk pertanian.
“Perempuan hanya menjadi pelaksana dari keputusan yang sudah ditetapkan, terutama dalam penggunaan dana desa untuk ketahanan pangan. Pemerintah lebih sering mengundang laki-laki untuk sosialisasi atau penyusunan perencanaan,” ungkap Etik.
Ia dan para petani perempuan lainnya berharap pemerintah serta institusi terkait dapat memberikan perhatian lebih, baik dalam bentuk kebijakan maupun akses terhadap sumber daya dan pelatihan yang dapat meningkatkan kapasitas mereka dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Tantangan Petani Indonesia dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan Kebijakan Pertanian
Pada kegiatan ini, LaporIklim memaparkan hasil survei persepsi petani Indonesia yang dilakukan secara daring pada 10 sampai 20 September 2024. Survei tersebut diikuti oleh 304 responden dari enam pulau di Indonesia dan memberikan gambaran tantangan yang dihadapi petani akibat perubahan iklim serta refleksi kebijakan pertanian selama 10 tahun terakhir.
Hasil survei menunjukkan bahwa petani Indonesia menghadapi tantangan serius, seperti sulitnya akses pupuk bersubsidi, harga gabah yang tidak memadai, dan kurangnya penyuluhan. Meskipun anggaran untuk pupuk bersubsidi meningkat, sebanyak 48 persen petani masih mengalami kesulitan mengaksesnya.
Dampak perubahan iklim, seperti kekeringan dan musim yang tidak menentu, dapat memperparah situasi. Sebanyak 77,6 persen petani melaporkan penurunan hasil panen, serta 46,7 persen mengalami gagal panen.
Sebagai perbandingan, Koordinator KRKP, Said Abdullah, memaparkan hasil survei serupa yang pernah dilakukan oleh KRKP pada 2018 mengenai persepsi petani terhadap program dan kebijakan kedaulatan pangan. Menurutnya, kebijakan yang ada belum membawa perubahan signifikan bagi petani.
Said menekankan bahwa kebijakan sering kali hanya berfokus pada produksi, tanpa memperhatikan petani sebagai produsen. Ia menekankan pentingnya pemenuhan hak-hak petani sebagai produsen pangan, termasuk hak pendidikan, teknologi, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan.
“Ketika hak-hak produsen pangan terpenuhi, baru kita bisa bicara tentang kedaulatan pangan. Sebab, pusat dari kedaulatan pangan adalah petani sebagai produsen, bukan hanya produksi,” jelas Said.
Senada dengan Said, perwakilan Laporiklim sekaligus jurnalis lingkungan dari Kompas, Ahmad Arif, berpendapat bahwa kebijakan yang ada belum memperhitungkan kebutuhan nyata petani. Ia menegaskan pentingnya memberikan ruang bagi suara petani, terutama perempuan, dalam proses pengambilan keputusan.
“Tantangan besar kita adalah bagaimana memastikan suara petani, termasuk petani perempuan, didengar ketika kebijakan tidak memperhitungkan hal tersebut,” ujar Arif.
Solusi Pertanian Berkelanjutan
IPB University berkomitmen untuk terus melakukan inovasi pertanian guna mengatasi dampak perubahan iklim. Salah satu contoh inovasi tersebut adalah pengembangan varietas baru, seperti bibit padi IPB 9G yang tahan kekeringan.
Komitmen ini disampaikan oleh Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Pengembangan Agromaritim IPB University, Prof. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ia mengungkapkan bahwa pemahaman terhadap permasalahan yang dihadapi petani perempuan di Indonesia mendorong pihaknya untuk menciptakan inovasi yang lebih ramah gender.
“Ini akan menjadi refleksi bagi kami. Kami akan mengarahkan perhatian khusus pada inovasi yang ramah gender,” ujarnya.
Selain itu, Dekan Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc.Agr., menekankan pentingnya inovasi teknologi dalam pertanian, terutama terkait dengan air dan pupuk, sebagai fokus pertanian regeneratif yang digaungkan pemerintah. Menurutnya, meskipun teknologi produksi padi belum banyak berubah dalam 33 tahun terakhir, ada potensi besar untuk mengurangi penggunaan pupuk hingga 30 persen dan pestisida hingga 100 persen.
“Untuk mencapai hal ini, penting untuk menyesuaikan kebutuhan pupuk dan varietas padi dengan kondisi spesifik lahan, serta memanfaatkan bioteknologi dan teknologi presisi,” terangnya.
Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc Ph.D., menambahkan bahwa tantangan utama yang dihadapi petani meliputi pendidikan, akses saluran, dan penerimaan teknologi. Ia menggarisbawahi pentingnya pendekatan transdisiplin yang melibatkan kolaborasi antara petani, akademisi, peneliti, dan pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim dan tantangan lainnya.
“Inovasi tidak hanya tentang menciptakan teknologi baru, tetapi juga tentang transformasi orang-orang yang terlibat dalam proses tersebut. Perguruan tinggi perlu belajar dari petani,” jelasnya.
Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB University, Dr. Ir. Rr. Melani Abdulkadir, M.Sc., menekankan pentingnya mendorong solusi konkret dengan memberikan ruang bagi petani perempuan untuk mengembangkan sekolah tani yang tidak hanya fokus pada pertanian tetapi juga kebutuhan sehari-hari.
“Jika pemerintah atau penyuluh tidak memberi ruang, petani harus berinisiatif untuk menciptakannya,” tuturnya.
Acara ini menjadi momen refleksi penting bagi semua pihak terkait mengenai realitas yang dihadapi oleh petani Indonesia, khususnya petani perempuan yang juga menanggung beban akibat perubahan iklim.
Penulis: Rahel Azzahra | Editor: Nurma Wibi Earthany