PERKAMPUNGAN MEGALITIKUM DI PULAU FLORES
Kampung Bena terletak di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Desa Tiworiwu, Kecamatan Jerebu’u, Kabupaten Ngada, sekitar 14 km dari Kota Bajawa. Infrastruktur jalan menuju Kampung Bena sudah sangat bagus dan mudah dilalui, baik menggunakan motor maupun mobil. Namun Sobat Tani harus tetap berhati-hati ya, karena lokasinya berada di bawah kaki Gunung Inerie dan jalanan yang lumayan berkelok. Sobat Tani tentu tidak akan jenuh selama perjalanan karena pemandangan sepanjang jalan sangat indah.
Kampung Bena merupakan perkampungan purba yang sudah ada sejak zaman megalitikum, sekitar 12 abad yang lalu. Warga di sana sangat menghormati tradisi nenek moyangnya, sehingga sampai saat ini perkampungan ini masih ada.
“Tak banyak yang berubah hanya penambahan kakus saja,” tutur Kepala Desa Tiworiwu.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini, Kampung Bena telah dibuka untuk umum dengan tetap mematuhi protokol kesehatan. Sebelum memasuki kawasan, setiap pengunujung akan dicek suhu tubuh dan dipersilakan untuk mencuci tangan. Tarif masuk dikenakan sebesar Rp. 25.000 untuk wisatawan lokal dan Rp. 250.000 untuk wisatawan mancanegara.
Kampung Bena berbentuk seperti perahu yang berada di atas bukit. Konon menurut cerita leluhur, kampung ini terbentuk dari kapal yang terdampar. Akses keluar dan masuk kampung hanya melalui satu gapura yang berada di bagian utara. Karena kampung ini berada di atas bukit, ujung kampung bagian selatan merupakan bagian puncak sekaligus jurang terjal. Sangat berbahaya bagi yang sedang patah hati. Sobat Tani harus selalu berpikir positif ya ketika berada di sini, hehe.
Pembangunan satu rumah adat di Kampung Bena memakan biaya yang sangat mahal, dapat mencapai 1,2 miliar rupiah. Bukan karena bahan bangunannya yang mahal, melainkan biaya upacara adat yang memakan biaya cukup besar. Bahan utama yang digunakan untuk membangun rumah berupa kayu, bambu, ilalang sebagai atap, dan bahan pelengkap lainnya.
Di Kampung Bena terdapat kurang lebih 40 rumah yang memanjang dari utara ke selatan. Penataan rumah mengikuti kontur geografis yang ada, sehingga perkampungan berundak-undak dengan puncak tertinggi pada bagian selatan. Pada bagian tengah perkampungan terdapat lapangan yang luas. Di lapangan tersebut terdapat bangunan suci berupa makam leluhur dan sepasang Nga’du dan Bagha. Makam leluhur ditandai dengan batu-batu purba besar yang berbentuk runcing. Di makam tersebut warga kampung meletakkan sesajen untuk persembahan kepada leluhur.
Bangunan suci Nga’du dan Bagha dapat menjadi pertanda jumlah suku yang mendiami Kampung Bena. Setiap satu suku memiliki sepasang bangunan suci Nga’du dan Bagha. Nga’du merupakan simbol nenek moyang laki-laki, bangunan ini beratap kerucut dari ilalang dengan satu tiang kokoh. Sementara itu, Bagha merupakan simbol nenek moyang perempuan, bangunan ini berbentuk seperti rumah adat sao yang ada di Kampung Bena, namun dalam ukuran yang lebih kecil.
Status sosial suatu keluarga di Kampung Bena dapat dilihat dari seberapa banyak tengkorak kerbau, rahang babi, dan taring babi yang tergantung di depan rumah. Tengkorak tersebut merupakan sisa ternak yang dikorbankan ketika upacara adat usai pembangunan rumah.
Mata pencaharian utama penduduk Kampung Bena yaitu berkebun, hal tersebut didukung dengan suburnya alam di sekitar perkampungan. Kegiatan berkebun biasanya dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Selain berkebun, tak jarang penduduk juga berjualan makanan kecil, kain tenun, dan suvenir lainnya.
Paham alur keturunan masyarakat Kampung Bena berasal dari pihak ibu atau lebih dikenal dengan matrilineal. Matrilineal disini juga berarti ibu atau pihak perempuan memiliki kekuasaan yang lebih dalam di suatu keluarga. Setiap anak perempuan yang sudah menikah, baik dengan pemuda Kampung Bena maupun luar Kampung Bena, harus tinggal di Kampung Bena. Sementara itu, jika ada pemuda yang menikah dengan gadis di luar Kampung Bena, maka pemuda tersebut sudah tidak berhak untuk tinggal di Kampung Bena.
Penulis: Lisa Bela Fitriani | Editor: Exciyona Adistika